Sabtu, 05 Mei 2012


Kota
Delapan puluh satu yang menginjak dahaga. Dahaga yang melebihi nuansa haus. Setibanya kembung seketika, tubuh yang merenta. Tiada lagi hasrat menjemput bahagia. Torehkan setiap laku sajak bertua, merdunya tiada lagi mengubah rasa jadi nyata. Rasa jadi sikap. Sikap jadi biasa. Biasa merasa nyata. Hari ini ada satu nyawa yang melayang mengikuti arus perubahan. Tiada dampak pasti ‘kan menghenti laju. Semua mesti berubah. Semua pasti berubah. Tiada telapak yang sama ‘kan membimbing. Tiada jejak yang sama melangkah. Semua berubah sebagaimana mestinya. Kota.
Madura, 28 April 2012

Kejora
Lihat kejora yang berpapasan pada langit malam. Wajahnya meraut luka yang mendalam. Bibirnya memaki matahari yang setiap hari berusaha mengejar rembulan dan merengkuh dalam dekapnya. Rupanya dia lagi berduka, untuk kasihnya, rembulan. Namun rembulan tidaklah benar-benar bersama mtahari. Hanya seberkas bayangan. Rembulan itu tidak utuh. Hanya raga, tidak cintanya yang hanya tertuju pada kejora. Karena mereka akan terus bersanding. Di sepertiga malam pertama.
Madura, 28 April 2012

Sajak pada hujan
Dalam gerimis pagi hari, aku semat sebuah kelalaian jiwa
Dari temaramnya yang melepas hari tanpa nyata
Langit yang tertutup itu adalah payung yang tiada lagi mampu menampung tetesan hujan pembawa bahagia
Di sinilah aku, menatap payung biru besar itu terjahit kembali oleh tangan-tangan pengrajin surga. Di gang kumuh dalam deretan rumah susun ibu kota.
Madura, 28 April 2012

Orang hilang
Ada orang hilang sewaktu pertandingan adu mulut di layar televisi. Orang-orang mengarah pandang padaku. Orang baru dalam kumpulan penghuni lama. Itu pandang orang yang kemarin menyambut dengan senyum dengan hidangan pelepas lelah. Itu pandang orang yang mengajariku cara menghormati yang tua dan menyayangi yang lebih muda.
Ada orang hilang di balik selimut putih ketika menutupi kasur. Mereka sangka aku adalah pesulap yang mereka tonton tadi malam di televisi. Mereka memaksa untuk mengembalikan orang itu pada keadaan semula. Lalu mereka akan berkata,” kamu memang hebat”.
Ada orang hilang muncul di dalam kantong-kantong suara yang kemarin kuberikan pada wakil-wakilku di gedung sana. Itu bukan salahku. Aku hanya seorang pengikut setia.
Madura, 28 April 2012

Mendoa
Jika kata benar serupa doa yang mampu mengubah ketetapan hati orang
Aku akan lebih sopan memaki orang yang selalu meghina di belakangku
Dan berkata bahwa itu tidak baik dilakukan oleh manusia yang punya akal dan nurani
Tidak dengan mengira-ngira siapa pelakunya, namun salah
Tentunya dia akan sadar dan menyesal

Jika kata benar serupa doa yang manjur
Aku akan lebih rendah diri untuk rakus dalam meminta nikmat
Merangkulnya dan membagi sesukanya
Dan akhirnya aku meminta lagi
Terus-menerus meminta sesuai hasrat
Madura, 28 April 2012

Data Penulis:
Yogi Gunawan, lahir di Sumenep pada tanggal 28 Januari 1992. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi di Universitas Trunojoyo Madura.

Senin, 13 Juni 2011

Kupu-kupu Penjelajah Malam


Maukah kau hinggap sebentar ?
Tak lelahkah dirimu
Terbang ke sana kemari
Mencari-cari kumbang hati
Mungkin aku bisa memberi
Kehangatan yang kau cari
Bukan sekadar nafsu birahi
Namun kehangatan hakiki
Kupu-kupu penjelajah malam
Kepakanmu semakin perlahan
Apakah itu sebuah pertanda
Akan kau rebahkan tubuh rentanmu
Kapan pun itu aku akan menunggu
Karena yang aku tahu
Hidupmu tak akan lama
Karena memang kau
Kupu-kupu penjelajah malam.
_______________________________________________

NASKAH TEATER MONOLOG "SAYA MOHON AMPUN"

Oleh : Fathul Qorib

“Belakangan ini, isu-isu politik berkembang dengan pesat seperti tidak memiliki mata dan telinga lagi. Setiap hari kita melihat anggota DPR membicarakan persoalan pembangunan gedung baru untuk meningkatkan kinerja mereka, mungkin maksudnya unuk meningkatkan kenyenyakan tidur mereka. Saya tidak habis fikir, berbagai LSM dan ormas turun jalan mendemo secara langsung juga tidak di gubris apalagi yang melewati media untuk membentuk wacana public. Tidak mempan sama sekali”

Kemudian presiden hanya bisa berkeluh kesah kepada rakyat ketika berbicara dalam forum-forum. Ia seperti menggunakan politik Cinderela sebagai orang yang teraniyaya, bukannya meraih simpati public ia malah kena kecaman yang terus mencederainya. Ya ampun, sedangkan kasus korupsi yang segedhe gunung semeru saja belum tuntas, muncul lagi Gayus yang berwajah mesum itu. Korupsi seperti tidak memiliki nama besar lagi, di anggap hal sepele padahal merugikan rakyat milayan bahkan kalau dikalkulasi bisa mencapai triliyunan rupiah.

Mengingat kebebalan di semua sektor pemerintahan ini, kita harus merumuskan langkah yang jitu agar suara kita di dengar. Mungkin kita, atau khususnya saya yang suka berdemo ini harus menggunakan aksen serta hati para punakawan untuk merendahdirikan saya dihadapan mereka semua. Mungkin dengan mendongakkan kepala penuh harap, menyemedikan kedua tangan saya seperti ini (tangan di tangkupkan di atas kepala), dan menggunakan lutut saya sebagai kaki, kita akan di dengar. Kemudian dengan suara yang parau saya akan berkata “SAYA MOHON AMPUN PARA PENGUASA”

Saya mohon ampun kepada Gubernur DKI Jakarta dan para produsen sepeda motor karena jumlah sepeda motor yang sudah melebihi jumlah penduduknya adalah kenyataan yang sudah sangat terlalu keterlaluan. Saya melihat kendaraan roda dua itu sudah seperti monster, bencana yang menggiriskan. Alirannya yang tak henti seperti air bah tsunami di semua ruas jalan Jakarta. Ia seperti kecoa yang berlalu lalang dengan arah, gaya, dan cara semau sendiri, seperti ulat bulu yag kini menyerang Pulau Jawa.

Saya mohon ampun kepada para peternak usaha ritel, Menteri Perdagangan, atau pejabat local yang mengijinkannya. Peternak dan pengusaha perkapital raksasa itu telah menyerang hingga sudut-sudut terpencl dari tubuh kita, membunuh warung-warung, took kelontong, dan pengecer yang selama ini jadi basis pertahanan kesehatan tubuh (ekonomi) kita.

Kepada para pengelola televise public saya mohon ampun untuk program-program yang mengeksploitasi nafsu rendah, apresiasi yang memiskinkan dan penuh kekerasan yang mengganggu akal sehat dan kemampuan kita dalam menghayati dan memahami hidup ini. Mohon ampun ntuk acara-acara hiburan yang menampilkan pembawa acara pria dengan tingkah laku kewanitaan secara ekstrem, tidak hanya dalam bahasa tubuh, mimik muka, suara, logat bicara, tetapi juga tat arias dan busana. Ampun karena bukan hanya anak-anak kita mengalami kerancuan dan keracunan pada cara memahami realitas alamiah kemanusiaannya, meniru, serta kehilangan orientasi sosialitasnya hingga pengembangan karakter dan jati dirinya.

Saya mohon ampun dengan sangat atas kian meruyak dan mendalamnya penyimpangan hokum oleh aparat hokum sendiri. Kepada kepala kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, mohon ampuni saya yang lemah menghadapi hokum anda atau aparat anda permainkan, selewengkan, bahkan hunakan, jadi komoditas bebas transaksi, keadilan yang berpihak, serta ketidakpastian yang mencemaskan dan mengancam kebebasan.

Kepada para wakil rakyat, kata apa lagi yang bermakna pada anda kecuali saya mohon ampun wahai para wakil rakyat yang terus-menerus menafikan, meninggalkan, bahkan mengkhianati rakyat. Apa tiada lagi kata yang menyentuh hati terdalam anda kecuali ampun ketika anda terus meminta rakyat memeras keringat, bahkan darah, untuk kemewahan yang anda inginkan?dan anda persetankan pendapat rakyat untuk itu? Wahai para pemutus kebijakan, jangan biarkan anda beku, mati, dan jadi zombie dalam peradaban ini. Jangan biarkan tangan-tangan lain mengatur anda, juga negeri dan rakyat anda ini. Ampuni saya untuk meminta anda ikut mengusir dan menghukum seberat-beratnya mereka yang telah merampok kekayaan alam, kebudayaan, dan hati nurani bangsa ini.

Ampun, saya mohon ampun, hentikan semua itu. Tentu saja jika kata yang sudah begini rendahnya ini masih bisa menyentuh kesadaran terdalam anda bahwa anda adalah orang Indonesia. Tapi kalau masih saja tidak di dengarkan, maka SAYA MOHON AMPUN, TIDAK ADA RASA HORMAT LAGI DALAM DIRI TUAN-TUAN, DAN SAYA AKAN MELAWAN DENGAN HATI BERUANG. SINGSINGKAN LENGAN BAJU, DAN MARI AKHIRI PENINDASAN SEKARANG JUGA.

Rabu, 18 Mei 2011